Ketua MPR RI Bamsoet Ajak Kaji Kembali Hasil Amandemen UUD NRI 1945
JAKARTA
| AndoraNews : Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan reformasi menjadi tonggak sejarah yang menandai runtuhnya sebuah ‘tabu politik’ dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, yang telah sekian lama menjadi dokumen ‘sakral’ yang tidak tersentuh oleh arus perubahan.
Setelah hampir seperempat abad sejak UUD NRI Tahun 1945 diamandemen untuk pertama kalinya pada tahun 1999, maka tidak ada salahnya jika kini dikaji kembali, apakah reformasi konstitusi yang dilaksanakan, telah menjawab berbagai tuntutan yang melatarbelakangi dilakukannya amandemen Konstitusi, khususnya dalam memajukan demokrasi di Indonesia.
“MPR RI periode 2019-2024 telah sepakat tidak akan melakukan amandemen konstitusi. Jikapun terjadi amandemen, terbatas hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Walaupun tidak ada rencana menghadirkan amandemen, namun tidak ada salahnya jika kita melakukan evaluasi terhadap perjalanan konstitusi guna menjamin efektifitas penyelenggaraan negara dan pencapaian tujuan bernegara. Sekaligus memaknai kembali amandemen konstitusi yang telah dilakukan MPR sejak tahun 1999 hingga 2002,” ujar Bamsoet dalam Temu Pakar Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI, di Komplek MPR/DPR/DPD RI, di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Turut hadir antara lain Ketua Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Sekretaris Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Dr. Abdul Kholik, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia periode 2013-2015 Prof. Dr. Hamdan Zoelva, Pimpinan PAH I MPR 2001-2004 Jakob Tobing, dan Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Dr Sofian Effendi.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan secara kuantitatif sejauh mana implementasi konstitusi berdampak pada kehidupan berbangsa, tercermin dari data-data yang menggambarkan capaian beberapa variabel pada masing-masing dimensi. Misalnya, untuk menggambarkan tingkat kemakmuran/kesejahteraan rakyat, khususnya dalam hal kesempatan untuk mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, layanan kesehatan, dan pendidikan, maka dapat merujuk pada nilai indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan untuk mengukur kemajuan kehidupan demokrasi di Indonesia, dapat merujuk pada besaran indeks demokrasi.
“Sebagai gambaran, rata-rata IPM Indonesia pada tahun 2022 mencapai angka 72,91 atau masuk kategori tinggi di atas 70. Tidak seperti IPM yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, indeks demokrasi Indonesia mengalami pasang surut secara dinamis. Merujuk pada laporan The Economist Intelligence Unit yang dipublikasikan pada awal bulan Februari 2022, indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2021 menempati urutan ke 52 dari 167 negara, dengan nilai 6,71, pada skala 0 sampai 10. Menempatkan kehidupan demokrasi kita masuk dalam kategori demokrasi tidak sempurna, atau demokrasi ‘cacat’,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, idealnya konstitusi yang dibangun dan diperjuangkan adalah Konstitusi yang ‘hidup’ (living constitution), dan yang ‘bekerja’ (working constitution). Konstitusi yang hidup adalah yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman, dan Konstitusi yang ‘bekerja’ adalah yang benar-benar dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan memberi kemanfaatan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Karena Konstitusi terikat oleh realitas zaman, maka agar ‘hidup’ dan ‘bekerja’, Konstitusi tidak boleh ‘anti’ terhadap perubahan. Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin kita hindarkan. Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa perubahan tersebut merupakan perubahan menuju ke arah yang lebih baik, dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, menjunjung tinggi kehendak daulat rakyat, serta memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadi original intent para founding fathers dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkas Bamsoet. *Desi/Mastete/Kop.