JAKARTA | AndoraNews : Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan, setelah hampir seperempat abad konstitusi berjalan sejak dilakukan perubahan pertama pada tahun 1999, kini mulai dirasakan terdapat ruang-ruang kosong yang menuntut perubahan konstitusi, karena dihadapkan pada tantangan zaman dan laju peradaban. Setidaknya MPR telah menerima berbagai masukan dan aspirasi beragam yang dapat dikelompokkan dalam enam pandangan.
Pertama, pandangan yang menghendaki untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang asli, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, pandangan yang menghendaki perlunya penataan atau penyempurnaan sistem ketatanegaraan melalui perubahan kelima Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Ketiga, pandangan yang menghendaki perubahan secara menyeluruh terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan.
“Keempat, pandangan yang menghendaki perubahan terbatas terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yaitu menghadirkan kembali wewenang MPR untuk menetapkan Haluan Negara atau model GBHN, yang pada perkembangan pembahasan di MPR saat ini, dikenal dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Kelima, pandangan yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian diperbaiki dan disempurnakan kembali melalui addendum. Keenam, pandangan yang menilai bahwa sistem ketatanegaraan kita pada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujar Bamsoet dalam Sekolah Konstitusi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia 2023, secara virtual di Jakarta, Jumat (10/03/2023).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, idealnya, konstitusi yang dibangun dan diperjuangkan adalah konstitusi yang ‘hidup’ (living constitution), dan yang ‘bekerja’ (working constitution). Konstitusi yang hidup adalah yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Konstitusi yang ‘bekerja’ adalah yang benar-benar dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan memberi kemanfaatan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Karena konstitusi terikat oleh realitas zaman, maka agar ‘hidup’ dan ‘bekerja’, Konstitusi tidak boleh ‘anti’ terhadap perubahan. Mengingat perubahan zaman merupakan keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindarkan. Tugas kita adalah memastikan bahwa perubahan tersebut menuju ke arah yang lebih baik, dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, menjunjung tinggi kehendak daulat rakyat, serta memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadi original intent para founding fathers dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, terdapat landasan yuridis bahwa setiap gagasan amandemen konstitusi tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi harus melalui proses dan tahapan menurut mekanisme yang diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Antara lain, diusulkan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, sidang MPR dihadiri sekurang- kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.
“Karena itu, pandangan berbagai pihak bahwa rencana MPR RI melakukan amandemen konstitusi untuk menghadirkan PPHN sebagai road map pembangunan bangsa, bisa menjadi bola liar memperpanjang masa jabatan presiden ataupun menambah masa jabatan periodisasi presiden, sebetulnya tidak tepat. Mengingat tahapannya dari awal sudah jelas, yakni hanya untuk menghadirkan PPHN. Namun demikian, untuk menghindari kegaduhan politik dan memastikan kondusifitas bangsa tetap sejuk, MPR RI telah memiliki terobosan baru dalam menghadirkan PPHN tanpa melalui amandemen, yakni melalui konvensi ketatanegaraan,” pungkas Bamsoet. *AndNews/Kop.
Media Partner : Koranpagionline.com.