BALI | AndoraNews: Transisi penggunaan energi kotor menuju energi bersih adalah komitmen segenap negara di dunia dalam rangka menjaga suhu bumi di 1.5 derajat celcius, sebagaimana diadopsi dalam Kesepakatan Paris, Konvensi Perubahan Iklim.
Bali sebagai destinasi yang acapkali selalu dijadikan tempat pertemuan Internasional seharusnya mampu membuat kebijakan atau bahkan menjadi contoh untuk praktik transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasiskan pada sumber.
Divisi Advokasi KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali Made Juli Untung Pratama S.H M.kn,, menyebutkan salah satu peraturan yang ada di dalam Perda No. 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050 dalam lampiran II halaman 1 dicatat bahwa Bali memiliki potensi Energi Bersih dan berkelanjutan sebagai berikut: Potensi Panas Bumi: 262 MW, Potensi Mini/Mikro Hidro: 15 MW, Potensi Bioenergi: 191,6 MW, Potensi Surya: 1.254 MW, Potensi Angin: 1.019 MW, Potensi Air: 208 MW, dan Potensi Laut: 320 MW.
Dilihat dari kebijakan yang sudah ada, tentunya praktik konkret dari transisi energi seperti identifikasi sumber-sumber yang ramah lingkungan diatas sangat layak dan sudah seharusnya menjadi prioritas untuk dilakukan mengingat komitmen capaian penurunan emisi (Net Zero Emission) di tahun 2060 nanti. “Semestinya dokumen dan praktik-praktik baik di wilayah Bali menjadi pijakan Pemprov Bali dalam melaksanakan praktik Transisi Energi yang hari ini marak diperbincangkan dan dilakukan baik di level Nasional dan Regional bahkan memamerkannya di acara Internasional seperti The ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM-41)” jelas Untung Pratama.
Lebih lanjut Made Krisna “Bokis” Dinata SP.d direktur WALHI Bali menjelaskan saat ini, sudah ada beberapa praktik-praktik baik transisi energi di Bali. Praktik transisi energi yang berkelanjutan haruslah didukung oleh pemerintah Provinsi Bali. Misalnya, yang dilakukan oleh PT Panji Muara Raya (PMR) sebuah perusahaan yang bergerak di bidang energi dengan membangun Pembangkit Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Sungai Muara, Desa Sambangan, Kabupaten Buleleng, Bali.
Tercatat bahwa PLTMH ini dapat menghasilkan energi listrik sebesar 2 Megawatt, yang dapat dimanfaatkan sekitar 2.000 KK di wilayah tersebut, dengan estimasi penggunaan sebesar 1000 Watt setiap rumah. Selain itu, PLTMH dinilai ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar bensin, solar atau gas yang ujung-ujungnya sebenarnya dapat menimbulkan efek buruk pada alam. “Pembangkit berkapasitas 2×700 kilowatt (KW) tersebut telah beroperasi sejak 2016 yang dimana PLTMH ini tak hanya berfungsi sebagai penyedia Tenaga Listrik di bagian utara saja, tetapi juga berfungsi sebagai showcase (percontohan) solusi energi terbarukan di Bali. “ kata Krisna Bokis.
Selanjutnya Anak-Agung Gede Surya Sentana selaku Sekjend FRONTIER (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali juga mengungkapkap contoh lain dari praktik transisi energi. Contoh lainnya adalah kolaborasi antara PT. Supraco Multi Sarana (SMS) dengan salah satu BUMD di Bali yang bergerak dalam bisnis Energi Terbarukan yakni PD. Bhukti Mukti Bhakti Kabupaten Bangli (BMB) dengan meluncurkan Brand “Sameton Surya” yang dalam Bahasa Indonesia “Saudara Surya” untuk mempercepat pengembangan pemanfaatan energi surya di Provinsi Bali khususnya di Kabupaten Bangli.
“Praktik transisi energi seperti ini tentu saja merupakan praktik pengembangan sumber energi berbasis sumber yang ramah lingkungan serta sejalan dengan Perda 9/2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Bali. Kerjasama yang menunjukkan usaha Bali untuk memanfaatkan energi berbasis sumber yang baik bagi komunitas dan lingkungan hidup sangat layak dijadikan showcase kita. Tidak hanya itu, praktik-praktik baik ini harusnya mendapatkan tempat utama secara inklusif di dalam transisi energi ke energi bersih di Bali” tungkasnya.
Sebagai informasi, Menteri Energi dari berbagai negara di Asia Tenggara atau ASEAN tengah berkumpul di Nusa Dua, Bali pada 24-25 Agustus 2023 dalam rangka menghadiri 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) untuk membahas isu ketahanan energi ASEAN. Dilansir bahwa Menteri ESDM menyatakan tiga pilar energi yang hendak dicapai negara-negara ASEAN melalui pertemuan ini yaitu keberlanjutan, keamanan, dan interkonektivitas. Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia akan mendorong gagasan peningkatan interkonektivitas pasokan energi di ASEAN melalui Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dan ASEAN Power Grid (APG).
Meskipun perhelatan ini disebut untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN untuk mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi yang adil dan inklusif di regional ASEAN, pilihan dorongan untuk memajukan Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dalam pertemuan ini jelas menjadi hal yang ironis.
Fanny Tri Jambore Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI Eksekutif Nasional menyatakan bahwa rencana perluasan infrastruktur gas dan LNG saat ini justru akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya. Hasil penelitian C40, misalnya telah menunjukkan penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik, pemanas pada gedung, dan industri memberikan kontribusi kematian dini yang hampir sama dengan penggunaan batu bara di 96 kota di seluruh dunia pada tahun 2020. “Komponen terbesar dari gas fosil adalah metana, gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbon dioksida dalam hal seberapa besar kontribusinya terhadap pemanasan global”, tuturnya.
Dengan berkaca pada situasi ini, promosi gas sebagai transisi energi membawa ASEAN kepada solusi yang menyesatkan. “Sudah seharusnya Indonesia dan juga negara-negara ASEAN lainnya menghentikan penggunaan energi fosil dan mulai meningkatkan pembangkit listrik berbasis energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan, bukannya terjebak pada solusi-solusi palsu” imbuhnya. *AndNews (FF)